A. PERSEPSI
Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan persepsi
adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari lingkungan dan
bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Persepsi biasanya dimengerti
sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang tersetimulasi
diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan
ditafsirkan. Persepsi mengacu pada proses di mana informasi inderawi
diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna.
1. Hubungan
antara persepsi dan proses negosiasi
Selama proses negosiasi, sangat
penting untuk menjaga persepsi diantara pihak yang terlibat. Sehingga
penyampaian gagasan masing-masing pihak seharusnya harus dapat diterima dengan
jelas oleh pihak lawan. Sehingga tidak menimbulkan mispersepsi yang berakibat
terhadap kepentingan/ keputusan yang diperoleh tidak dapat sesuai dengan
keinginan awal.
· Distorsi
Persepsi
- Stereotip: adalah adanya generalisasi terhadap
suatu objek, sehingga negosiator akan memiliki prasangka/ prejudifikasi
terhadap objek yang memiliki faktor/ latar belakang tertentu
tersebut secara umum, ditandai dengan pemberian label, simbol
ataupun identitas tertentu. Misalnya adalah penilaian terhadap negosiator
tertentu yang berasal Jepang, yang mana adalah tipe to the point,
dengan anggapan terhadapnya sebagai orang yang kurang berinteraksi, tidak
terlalu ramah, dan sebagainya.
- Efek Halo: Persepsi yang muncul akibat dari
latarbelakang seorang negosiator yang telah dipercaya oleh lawan negosiator.
Misalnya adalah presiden Sukarno, dalam mengikuti konferensi
internasional, akan dinilai sebagai sosok yang kharismatik dan
tangguh, yang tercermin dari usahanya memperjuangkan NKRI.
- Persepsi Selektif: merupakan persepsi yang telah
tersaring dengan suatu faktor yang dipengaruhi atas preferensi negosiator
itu sendiri. Misalnya persepsi bahwa negosiasi akan cenderung lebih mudah
dilakukan dengan orang yang to the point, maka lawan negosiator
yang memiliki indikasi/ ciri-ciri to the point akan dianggap lebih mudah
diajak bernegosiasi, misalnya tegas dalam menyampaikan gagasan dan serius
dalam menghadapi negosiator lawan.
- Proyeksi: merupakan hasil yang hendak dicapai
atau yang dijadikan asumsi dasar dan digunakan sebagai rancangan atau
pedoman yang ingin dicapai selama proses negosiasi. Misalnya negosiasi
Indonesia dengan Malaysia mengenai wilayah, proyeksinya bahwa Indonesia
harus memiliki kemampuan hingga tingkat tertentu sehingga dapat mencapai
hasil semaksimal mungkin.
2. Pembingkaian
Bingkai adalah mekanisme subjektif dimana orang mengevaluasi dan memahami
situasi, membuat mereka meraih atau menghindari tindakan lebih lanjut (Bateson,
1972;Goffman, 1974).
· Jenis-jenis
bingkai :
a. Substantif – konflik yang muncul berkaitan dengan apa.
Pihak-pihak yang menggunakan bingkai substantive memiliki disposisi tertentu
mengenai isu kunci atau kepedulian terhadap konfik.
b. Hasil –
predisposisi pihak untuk mencapai hasil spesifik atau hasil dari negosiasi.
c. Aspirasi –
predisposisi terhadap pemuasan minat yang luas atau kebutuhan dalam negosiasi.
d. Proses – bagaimana pihak-pihak bertindak untuk
menyelesaikan masalah.
e. Identitas – bagaimana pihak-pihak mengartikan “siapa
mereka” berdasarkan kelompok-kelompok yang berbeda (jenis kelamin, agama, etc)
f. Karakterisasi -
bagaimana pihak – pihak mengartikan pihak lain. Bingkai karakterisasi
dapat dibentuk degan jelas oleh pengalaman dari pihak lain.
g. Kalah-menang – bagaimana pihak-pihak mengartikan resiko
atau penghargaan yang terkait dengan hasil tertentu.
Dalam
negosiasi, sulit untuk mengetahui bingkai apa yang digunakan suatu pihak
keculai pihak tersebut memberi tahu atau apabila membuat dugaan dari perilaku
pihak tersebut. Berikut adalah pandangan dan studi efek pembingkaian:
a. Negosiator dapat menggunakan lebih dari satu bingkai.
b. Ketidakcocokan dalam bingkai antara beberapa pihak
merupakan sumber konflik.
c. Pihak-pihak bernegosiasi secara berbeda tergantung
pada bingkainya.
d. Bingkai
spesifik kemungkinan digunakan dengan jenis isu tertentu.
e. Jenis bingkai tertentu mungkin mengarah pada tipe
kesepakatan tertentu.
f. Pihak-pihak kemungkinan menerima sebuah bingkai
tertentu karena berbagai faktor.
· Bingkai isu
berubah seiring perkembangan negosiasi.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana percakapan dan bingkai
tebentuk:
a. Negosiator cenderung berargumen untuk isu yang ada,
atau kekhawatiran yang meningkat saat pihak-pihak bernegosiasi. Misalnya, isu
gaji atau kondisi bekerja selalu dibahas dalam negosiasi buruh.
b. Dalam mencari cara untuk mendapatkan kemungkinan
terbaik untuk pandangannya, suatu pihak mengumpulkan fakta, angka, testimony,
atau bukti lain untuk memperkuat argumennya dan meyakinkan pihak lain.
c. Bingkai-bingkai mungkin mendefinisikan pertukaran
utama dan transisi dalam negosiasi keseluruhan yang kompleks.
d. Akhirnya, beberapa hal dan agenda beroperasi untuk
memebentuk perkembengan isu.
B. KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum
yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera
menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah
satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek
atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas,
pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing
objek tersebut. Proses-proses
mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada
beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan)
dan pemecahan masalah (problem solving).
Kognisi
adalah aspek yang harus diperhatikan dan dipahami antar negosiator yang
mencakup latar belakang serta minat, target maupun perspektif. Sehingga
tercipta persepsi yang benar dan bukan mispersepsi yang tidak diharapkan
terjadi.
1. Bias Kognitif
Dalam Negosiasi
Kesalahan secara sistematis yang dilakukan oleh
negosiator akibat dari misinterpretasi terhadap informasi yang diperoleh selama
proses negosiasi, sehingga dinilai memiliki kecenderungan menghalangi proses
negosiasi dengan hasil yang kurang optimal.
·
Bias
kognitif dalam negosiasi dan cara mengatasinya
a. Eskalasi
komitmen yang irrasional, tindakan yang diambil negosiator yang sudah tidak
mempedulikan apa yang perlu dievaluasi, karena tindakan yang sama terus
dilakukan tanpa melihat bagaimana hasil yang telah dicapai, sehingga
hasilnya tidak optimal bahkan sia-sia. Hal ini dapat diatasi dengan adanya
penasihat yang dapat memberikan pencerahan bahwa tindakan tersebut sudah tidak
lagi optimal dan hanya membuang sumber daya.
b. Keyakinan
pada harga mati (rigid), menganggap bahwa hasil yang dicapai dalam nnegosiasi
tidak sesuai yang diharapkan atau kebuntuan, sehingga tidak melakukan tindakan
lain dengan asumsi bahwa tindakannya akan sia-sia. Dapat diatasi dengan
memberikan dukungan terhadap negosiator dengan mencari tindakan
alternatif yang diyakini akan berhasil.
c.
Pengarahan
dan penyesuaian, merupakan penilaian atas input yang diterima negosiator
tersebutbertolak belakang dengan kepentingan awalnya, sehingga cenderung untuk
mengambil tindakan penyesuaian yang berlawanan/ skeptis, atau mempertimbangkan
kembali tindakan apa yang perlu diambil, persiapan dengan bantuan advokat
berlawanan atau pemeriksaan realitas diharapkandapat mencegah bias tersebut.
d. Pembingkaian
Isu dan Resiko, dalam menggunakan perspektif saat proses negosiasi,
maka akan ada kemungkinan yang menyebabkan negosiator harus menghindari
tindakan tertentu sehinggga terkesan “cari aman”/ tidak mengambil resiko,
dihindari dengan kepekaan terhadap bias, pemahaman informasi dan analisa
menyeluruh sehingga diterima bahwa resiko itu pasti dan pencapaian lebih
tinggi dapat dicapai.
e. Ketersediaan
Informasi, bahwa informasi yang disampaikan dalam proses negosiasi harus dapat dengan
mudah didapatkan/ diterima oleh negosiator lawan sehingga juga memudahan dalam
evaluasi selanjutnya. Maka dengan cara penyampaian yang menarik dan atraktif
dinilai akan mempermudah penerimaan serta membuatnya mudah diingat.
f. Kutukan
pemenang, ketidakpuasan yang muncul atas kemudahan terhadap keberhasilan selama
proses negosiasi, sehingga menganggap apakah memang dalam negosiasi terlalu
banyak power/ resource yang dikeluarkan terhadap negosiator lawan, atau
seharusnya ada kesepakatan yang senderung lebih baik dan menguntungkan. Untuk
mengatasinya,persiapan menyeluruh dan investigasi terhadap isu hingga opsi
alternatif/ keuntungan yang lain dalam negosiasi yang dinilai cenderung lebih
baik.
g. Kepercayaan
diri berlebih, memiliki segi positif yaitu menguatkan persepsi
negosiator status/ posisi yang dimiliki, tetapi dampak negatifnya adalah
menganggap terlalu mudah proses negosiasi tersebut dilakukan dan dengan hasil
yang optimal, sehhingga negosiator memiliki kecenderungan untuk lengah dan
hasil yang didapatkan justru sebaliknya. Maka sebaiknya, proporsionalitas
atas percaya diri, kemampuan, persiapan, dan analisa terhadap power/
resource perlu dijaga.
h. Hukum angka
kecil, dalam melakukan tindakan dan mengambil keputusan hanya berasal dari
pertimbangan yang terlalu sedikit, atau kurangnya aspek/ faktor lain yang perlu
diperhatikan serta sampel/ hasil data yang sedikit. Sehingga mengakibatkan
ketidakakuratan tindakan/ keputusan tersebut. Maka hendaknya mengambil banyak
faktor yang perlu diperhatikan serta analisa yang mendalam supaya hasilnya
akurat dalam berbagai kondisi.
i. Bias
pelayanan diri, pemberian atribut terhadap tindakan negosiator
tertentu yang berlatarbelakan atas faktor internal yang dialami oleh negosiator
tersebut, sehingga kurang memperhatikan faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi tindakan/ sikap yang muncul. Hendaknya sebagaimana sebelumnya,
memperhatikan apa yang ada dari segala aspek sehingga dapat dianalisa secara
dalam dan didapatkan apa yang benar dan merupakan penyebabnya.
j. Pengaruh
dukungan, dengan adanya dukungan akan meningkatkan keyakinan/ optimis terhadap hasil
negosiasi, sehingga akan berakibat seperti poin kepercayaan diri berlebih
diatas, dan mengganggu pencapaian kesepakatan yang paling baik. Maka dukungan
tersebut harusnya disikapi sebagai motivasi eksternal seorang negosiator dalam
mewujudkan kepentingan, bukan hanya resource yang tersedia.
k. Mengabaikan
kognisi pihak lain, yaitu dengan sikap negosiator yang kurang/ tidak
memperhatikan pemikiran dan persepsi pihak lain, sehingga persepsi dirinya
terhadap pihak lain akan tidak harmonis sehingga terjadi kesalahan penafsiran
apa sikap/ tindakan yang hendak diambil oleh negosiator lawannya. Maka seorang
negosiator hendaknya berusaha untuk memahami secara akurat latar belakang baik
itu minat, target mauun perspektif negosiator lawannya.
l. Proses
devaluasi reaktif, penggunaan
dasar emosionalitas dan ketidakpercayaan terhadap pihak lain serta cenderung
subjektif. Sehingga akan menilai rendah dan mendevaluasi konsesi pihak lawan.
Maka, seorang negosiator hendaknya menjunjung tinggi objektivitas proses
negosiasi dan menghindari penggunaan dasar emosi maupun prasangka yang buruk.
C. EMOSI
Emosi adalah aspek psikologis negosiator yang harus
dijaga tetap dalam sisi yang positif, sehingga menciptakan konsekuensi
terjadinya negosiasi yang lebih integratif dan kesepahaman atas sikap positif
satu sama lain.
Yang diharapkan, bahwa dengan adanya emosi yang
positif sehingga menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif serta dukungan
kognisi yang mencakup berbagai aspek yaitu minat, target maupun perspektif dengan
saling memahami antar pihak negosiator, maka akan menciptakan proses dan hasil
negosiasi yang optimal antara kedua belah pihak.
Seorang
negosiator seharusnya menganggap proses negosiasi sebagai kesempatan untuk
berkolaborasi dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Hindarilah penggunaan
kata-kata seperti ‘aku’, ‘saya’, ‘kamu’, atau pun ‘anda’, karena itu akan
membuat negosiasi terlihat seperti menuju ke arah kompetitif. Kata-kata ini
menunjukkan bahwa saya akan menang dan anda akan kalah, atau sebaliknya,
sehingga akan sulit untuk mencapai hasil win-win. Maka sebaiknya
cobalah untuk menggunakan kata ‘kami’, karena kata tersebut menggambarkan bahwa
kita dan klien berada pada sisi yang sama. Kata-kata yang kita gunakandalam
negosiasisangat mempengaruhi suasana emosional rekan kita. Hindarikata-kata
negatif yang dapat memancingemosional.
Dua hal yang
paling mungkin untuk menggagalkan negosiasi adalah kemarahan dan ketakutan.
·
Ada empat tipe dasar ketakutan:
a. Fear
of the unknown. Orang-orang takut terhadap apa yang mereka tidak tahu.
Solusi untuk menghadapi ketakutan ini adalah melakukan persiapan. Pelajari dan
kumpulkan sebanyak-banyaknya informasi dan persiapkan plan B kita secara
matang.
b. Fear
of loss. Terkadang ketika seseorang merasa takut kalah, itu menjadi
motivasi mereka sehingga mendapatkan hasil yang positif. Namun, tidak sedikit
pula orang yang mengambil hasil yang buruk dikarenakan mereka takut kehilangan
apa yang telah mereka investasikan. Sehingga sebelum melakukan negosiasi, kita
harus tahu bottom line dan rencana B yang akan kita gunakan.
c. Fear
of failure. Takut gagal berhubungan dengan emosional, seperti takut akan
reputasinya turun, takut malu atau kehilangan muka. Biasanya ketakutan akan
kegagalan lebih dirasa sulit untuk dihadapi dibandingkan ketakutan yang
lainnya. Solusi untuk menghadapi ketakutan ini adalah dengan mempersiapkan dan
mengecek tim negoisasi kita tentang apa saja yang akan dibicarakan.
d. Fear
of rejection.Kebanyakan orang, setelah mendengar kata “tidak” langsung
berkecil hati dan menyerah. Mereka menyamakan penolakan permintaan mereka
sebagai penolakan kepada mereka secara pribadi, dan terkadang mereka hanya
tidak ingin mengambil risiko untuk ditolak untuk kedua kalinya. Untuk mengatasi
ketakutan akan penolakan, ingatkan diri kita bahwa hanya ide kita saja yang
sedang ditolak, bukan diri kita. Penolakan mungkin terjadi karena rekan kita
tidak mengerti permintaan kita, sehingga lanjutkan dengan pertanyaan “mengapa
tidak?” agar kita memahami pemikirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar